‘KAFIR’ Dalam Kerangka Fiqh Muwathonah

Semula saya berharap segenap elemen umat agar menghindarkan diri dari mengangkat isu-isu yang krusial dan kontroversial apalagi pada tahun politik yang sensitif sekarang ini. Pada hemat saya, topik seperti tentang kafir dan semacamnya bisa ditunda dulu.

Tapi karena sudah terlanjur dan banyak pertanyaan, maka izinkan saya yang faqir ini menyampaikan pandangan. Saya menilai ada kerancuan dalam mengaitkan istilah kafir dan muwathin (warga negara) karena kedua istilah berada dalam kategori berbeda; kafir berada dalam kategori teologis-etis, sedangkan muwathin dalam kategori sosial-politik.

Polemik berkembang rancu, baik karena penjelasan awal ke publik dari Munas Ulama NU mengaitkan keduanya, karena bagi NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak ada istilah kafir tapi muwathin.

Polemik kemudian berkembang pada konseptualisasi kafir secara teologis (berdasarkan asumsi bahwa Munas menafikan atau meniadakan istilah kafir). Terjadilah semacam kerancuan atas kerancuan (tahafutut tahafut).

Istilah kafir dan bentuk-bentuk derivatifnya (kafara, kufr, kuffar, kafirun) yang disebut 525 kali dalam Al-Qur’an adalah dalalah Ilahiyah (penunjukan Ilahi) terhadap perilaku, sosok, dan figur manusia tertentu.

Al-Qur’an memang ada menyebut dalam bentuk kelompok (al-Qaumul Kafirun), tapi banyak dalam nada personal baik tunggal (kafir) maupun plural (kafirun atau alladzina kafaru). Karenanya, kafir merupakan konsep teologis sekaligus etis (berhubungan dengan pandangan ketuhanan dan sikap terhadap hal ketuhanan).

Sesuai arti harfiyahnya yaitu “menutup”, maka kafir menunjukkan perilaku menutup diri, tidak mau menerima, atau mengingkari kebenaran tentang Allah dan ajaran-ajaranNya yang diturunkan sebagai wahyu kepada manusia melalui rasul-rasul pilihan-Nya.

Dalam hal ini, kafir bisa dinisbatkan kepada mereka yang tidak beriman kepada Allah dan ajaranNya, atau kepada mereka yang walaupun beriman kepada Allah tetapi membangkangi ajaranNya dan tidak bersyukur atas nikmatNya (ada istilah kafir akidah, kafir amal, atau kafir nikmat).

Al-Qur’an juga mengenalkan konsep-konsep etis lain yang berhubungan dengan konsep kafir, seperti musyrik, fasiq, dan zholim. Semuanya menurut ahli keislaman dari Jepang Toshihiko Itzuzu sebagai ethico-religious concepts (konsep etika keagamaan) dalam Islam.

Sebagai konsep teologis, maka kafir dinisbatkan kepada manusia yang tidak beriman. Sebagai istilah khas Islam, maka dari sudut keyakinan Islam, orang kafir adalah penganut keyakinan selain atau di luar Islam.

Transformasi Konteks

Sebenarnya istilah tentang “orang luar” ini biasa dalam setiap agama yang memiliki kriteria keyakinan (bench marking of belief). Orang yang tidak memenuhi kriteria tersebut dianggap orang luar (outsiders) atau orang lain (the others).

Semua agama, seperti Yahudi, Kristen, Hindu, atau Buddha, memiliki istilah atau konsep tentang “orang luar” dan “orang lain ini” dan itu termaktub dalam Kitab Suci. Istilah semacam ini bersifat datar saja dan tidak menimbulkan keberatan dari pihak lain, baik karena memakluminya maupun karena memang mereka merasa bukan “orang dalam” lingkaran keyakinan tersebut.

Masalah akan muncul jika istilah semacam kafir tersebut dipakai dalam nada labelisasi negatif atau pejoratif yang bersifat menghina atau menista. Dalam sejarah Islam, khususnya pada masa Nabi Muhammad SAW, istilah kafir yang dinyatakan Allah dalam Al-Qur’an tidak pernah secara lugas dan vulgar dikaitkan dengan pemeluk agama lain yang ada waktu itu seperti Yahudi, Nasrani, atau Majusi.

Mereka disebut dengan nama komunitas keagamaannya masing-masing, atau terhadap Yahudi dan Nasrani sering juga dipanggil sebagai “Penerima Kitab” (Ahlul Kitab). Artinya, istilah kafir dalam arti berada di luar akidah Islam tidak menjadi kata panggilan (label), tetapi hanya pemahaman terhadap orang luar Islam (konsep).

Dalam pergaulan antar umat beragama, termasuk di Indonesia, pemakaian istilah khas masing-masing agama tersebut terhadap “pihak lain atau pihak luar”, seperti pemanggilan dengan kata kafir dan sejenisnya, tidak populer di ruang publik.

Bahkan sekarang, pada era dialog dan kerja sama antar agama, baik pada skala global maupun nasional, sering dipakai istilah “pemeluk agama lain” seperti non-Muslim (ghairul Muslimin), non-Kristiani, dan seterusnya, bahkan istilah Bahasa Inggeris yang sering dipakai sekarang adalah the other faiths (pemeluk agama-agama lain).

Jelasnya, istilah/konsep kafir yang tidak mungkin dinafikan atau ditiadakan, mengalami transformasi pemakaian dalam konteks kehidupan masyarakat multi-kultural dan multi-keyakinan. Istilah atau konsep muwathin (citizenship atau warga negara) adalah lain.

Negara Bangsa

Konsep ini sudah lama ada sejalan dengan pembentukan Negara-Bangsa (Nation State), bahkan sudah ada sejak pembahasan tentang konsep negara atau masyarakat kewargaan pada Zaman Yunani Kuno (di kalangan filosuf seperti Socrates, Plato, atau Aristoteles).

Konsep itu (belum dengan istilah muwathin dan muwathanah) sudah juga menjadi pembahasan pemikir Muslim seperti Ibnul Muqaffa’, Al-Mawardi, Ibn Abi Rabi’, Ibnu Rusyd, atau Ibnu Khaldun. Wawasan pemikiran politik Yunani dan Islam ini ikut mempengaruhi konseptualisasi pemikir politik Barat seperti Montesquieu, John Lock, atau Hegel.

Pemikiran politik tentang negara dan warga negara ini berkembang hingga masa modern pada pemikiran Muhammad Abduh, Ali Abd al-Raziq, hingga Malik bin Nabi. Di kalangan Muslim konsep ini berkembang sejalan dengan perkembangan negara-bangsa (Nation State atau al-Wathan).

Pemikir politik Muslim kontemporer, seperti Bassam Tibi dan Fahmi Huwaidy sudah mulai mengemukakan istilah Arab/Islam ak-muwathanah sebagai padanan citizenship. Terakhir ini konsep al-muwathanah (citizenship atau kewarganegaraan) menjadi pilihan dunia terutama dalam bentuk al-muwathanah al-musytarakah atau common citizenship (kewarganegaraan bersama).

Dalam Pesan Bogor yang dikeluarkan dari Konsultasi Tingkat Tinggi Ulama dan Cendekiawan Muslim Sedunia di Bogor, 1-3 Mei 2018 tentang Wasathiyyat Islam, istilah/konsep muwathanah menjadi aspek ketujuh dari Wasathiyyat Islam (enam yang pertama: i’tidal, tawazun, tasamuh, syura, ishlah, qudwah).

Sebagai ciri dari Ummatan Wasathan (Ummat Tengahan) yang berorientasi pada Wasathiyyat Islam, muwathanah dipahami sebagai kewarganegaraan yang berpangkal pada pengakuan eksistensi negara-bangsa di mana seseorang berada, dan berlanjut pada peran serta aktif membangun negara.

Konsep ini sebenarnya didasarkan pada pemahaman tentang dokumen-dokumen dasar dalam Sejarah Islam, seperti Piagam Madinah. Dalam konteks keragaman bentuk pemerintahan negara-negara Islam, dan desakan penerapan demokrasi dewasa ini isu muwathanah/kewarganegaraan menjadi krusial.

 

06 Mac 2019

Profesor Dr Kiyai Haji Din Syamsuddin
Ketua Umum Muhammadiyah 2010-2015 &
Ketua Umum Majelis Ulamak Indonesia (MUI) 2005-2014